Dunia menertawakan Amerika yang memilih Donald
Trump, tapi sejujurnya, kondisi politik kita tak kalah menjijikkan
JELAJAH
-- Kita
sedang menyerah pada kebencian, pada rasisme dan diskriminasi kelas teri dan
membiarkan sikap-sikap itu merajai permainan politik kelas kakap. Mengapa?
Seorang gubernur menyatakan agar masyarakat jangan
mau ditipu oleh para pihak yang hendak memanfaatkan salah satu ayat kitab suci
untuk kepentingan politis. Karena salah ucap, serta menurut beberapa
sumber, sebuah kesalahan transkrip sederhana (dan, rahasia umumnya, karena dia
seorang Tionghoa non-Muslim) dia ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan
agama.
Sementara kasus diproses, bom molotov diledakkan di
sebuah gereja di Samarinda, menewaskan seorang bocah berusia dua tahun dan
menciderai tiga lainnya. Sekelompok orang, dari MUI, pemuka agama Islam, hingga
anggota DPR termasuk nama-nama dengan banyak pengikut seperti Felix Siauw dan
Ratna Sarumpaet menyatakan bahwa diangkatnya kasus ini mungkin upaya pengalihan
isu dari kasus Ahok di atas.
Pengalihan isu berarti sebuah kejadian yang
sebetulnya wajar-wajar saja jadi dibesar-besarkan.
Praktisnya, bukankah ini
sama saja dengan menganggap tewasnya seorang balita atas aksi terorisme
sebetulnya tidak layak diberitakan? Sementara salah ucap seorang tokoh politik
yang dapat dipelintir paksa sesuai interpretasi subyektif mereka
sendiri masturbasi ego kaum sendiri justru jauh lebih penting, begitu?
Saya tanya satu hal: Mana sikap yang lebih nista?
Saya tidak paham, realita apa yang dihuni
orang-orang ini. Pertama-tama: Apa itu definisi "penistaan agama"?
Apa parameter dan tolok ukur obyektifnya? Bagaimana kita membuktikan motifnya
secara pasti?
Kedua, coba kita lihat siapa yang berteriak-teriak
di jalan pada tanggal 4 November kemarin. Apa yang mereka dengar dan dengungkan
dalam khotbah? Tak usah malu, kita semua tahu: Banyak sekali konten khotbah
yang mengandung cercaan eksplisit terhadap agama-agama selain Islam.
Bukan kepeleset lidah, bukan rumpang transkrip. Kita
semua sudah tahu bahwa banyak sekali pemuka agama yang secara terang-terangan
mengumandangkan berbagai hinaan terhadap agama lain, menyatakan pemeluk mereka
kafir yang patut mendapat azab dan kekerasan. Ini apa kalau bukan penistaan?
Ahok tak pernah mengumandangkan kekerasan terhadap
pemeluk agama manapun. Tak pernah berkhotbah menghancurkan suatu kaum tertentu.
Mana sikap yang lebih nista?
Ketiga, bagaimana bisa mereka melihat sebuah kasus
salah transkrip dan ambiguitas bicara sebagai sesuatu yang fundamental? Sesuatu
yang seolah lebih kejam dari seluruh kekerasan para pendukung mereka, yang
telah dilakukan jelas-jelas atas motivasi dari ajaran-ajaran mereka? Sesuatu
yang lebih penting dari nyawa bocah dua tahun?
Lagi: Mana sikap yang lebih nista?
Tak usah dijawab. Ini malah sudah bukan penistaan
terhadap agama lagi namanya. Menganggap tewasnya Intan Olivia sebagai sesuatu
yang wajar adalah penistaan terhadap kemanusiaan.
Sungguh, saya khawatir. 4 November adalah hari yang
membuat banyak dari kita bergidik jijik, takut, dan sejenisnya. Rasisme
blak-blakan, serangan personal dengan dasar moralitas sepihak yang amat susah
diabsahkan secara obyektif. Tak separah 1998, memang, tapi tak dapat dipungkiri
bahwa banyak kaum Tionghoa yang merasakan momok rasisme sejenis.
Ingat, ya: Kita membiarkan hal ini terjadi. Kita
melahirkan sekelompok besar masyarakat lengkap dengan para tokoh
publiknya dengan pandangan yang begitu terdistorsi tentang realita.
Kita membiarkan mereka bercuap, membiarkan mereka
mengumpulkan ratusan ribu pengikut yang setia turun ke jalan. Kita membiarkan
mereka mendapatkan daya politik yang begitu besar, hingga cukup untuk
menetapkan seorang tokoh politik menjadi tersangka kasus yang entah bagaimana
bisa berlanjut sampai tahap seperti ini.
Mungkin ada yang bilang bahwa 4 November merupakan
demo bayaran, tapi sungguh: puluhan hingga ratusan ribu orang bukan angka yang
rendah. Kita telah menciptakan masyarakat di mana ekstremisme merupakan jalan
hidup yang menarik banyak orang.
Maka percuma kita tertawa. Dulu kita mungkin
menjadikan para badut ekstremis ini sebagai bahan olok-olok dan tertawaan, tapi
lihat di mana mereka sekarang. Jika begini terus, kita akan terus kalah, terus
terhantam mundur sebagai masyarakat yang konon maju dan manusiawi.
Mungkin memang salah kita. Kita, masyarakat urban
liberal, terlalu sibuk maju dan berkembang secara pemikiran dalam lingkaran
kita sendiri. Masyarakat yang kurang beruntung tak hanya kita tinggalkan, namun
terus kita dorong mundur dengan menyebut mereka bodoh dan kampungan.
Mungkin memang kita lupa. Di tengah kenyamanan kafe
kita yang ber-AC, tempat kita mendiskusikan pluralisme, kesetaraan gender, dan
hak-hak kaum LGBT, kita sering lupa bahwa masih ada banyak amarah yang dipendam
di lapisan mereka-mereka yang kurang beruntung.
Dalam kemajuan kita secara infrastruktur, secara
pemikiran banyak lapisan masyarakat yang merasa bisu, tertinggal. Ternistakan.
Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Ahok tak ada
niatan sama sekali untuk menistakan agama. Namun saya juga paham bahwa banyak
perbuatan Ahok penggusuran, proses reklamasi, dan sebagainya telah membuat
begitu banyak orang merasa terinjak-injak.
Ada amarah dalam masyarakat kita. Ada amarah terhadap
Indonesia, terhadap pemerintah. Ada amarah terhadap Ahok, yang begitu populer
meskipun dia telah membuat banyak kebijakan publik yang melukai beberapa
lapisan masyarakat menengah ke bawah.
Marah, Sakit, dan ini dia kenyataannya: Kita telah
menciptakan masyarakat di mana teriakan protes hanya akan didengarkan meskipun
secara jijik, secara tidak terhormat jika ia diutarakan sebagai kebencian
terhadap ras atau agama tertentu.
Apa kita pernah menanyakan kelanjutan nasib mereka
yang berteriak-teriak saat penggusuran paksa dengan waktu persiapan yang dirasa
terlalu singkat?
Bodoh, memang. Bukan, bukan cuma mereka yang turun
ke jalan tanggal 4 November kemarin. Bukan cuma mereka yang sedang bersuka cita
atas ditetapkannya Ahok sebagai tersangka. Kita semua yang bodoh.
Mungkin benar ada pengalihan isu: Isu sistem cacat
yang merugikan masyarakat ramai-ramai kita alihkan menjadi isu moral yang
kurang mulia dari segelintir orang. Kita buat diri lupa bahwa ekstremisme lahir
dari amarah masyarakat, bahwa penderitaan dan ketimpangan sosial itu sangat
terkait dengan lahirnya rasisme dan diskriminasi. Lebih mudah mengolok daripada
berpikir kita punya andil.
Mungkin benar ada penistaan agama: Fungsinya sebagai
penyejuk rohani ramai-ramai kita nistakan sebagai wahana kebencian yang
mendalam dan amarah yang membuncah dalam masyarakat. Kita memalingkan muka dari
amarah dan frustrasi dalam lapisan masyarakat, baru membuka mata dan telinga
saat ada bom meledak.
Satu hal yang tak bisa kita pungkiri: Adanya ratusan
ribu warga masyarakat yang merasa diri mereka ternistakan, terciptanya sebuah
golongan nista yang ditertawakan namun ditakuti, adalah indikasi jelas akan
adanya masalah struktural.
Penulis : Rolling Stone
0 komentar:
Posting Komentar